Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tunagrahita
Disusun oleh
Nama : Nur Indah Dilla M
NIM : 10103241031
PENDIDIKAN LUAR
BIASA
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum
wr.wb.
Alhamdulillah segala puja puji
syukur kami panjatkan ke hadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahnya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh kaum muslimin dan muslimat yang
setiasa istikomah mengikuti petunjuknya.
Berkat rahmat dan pertolongan Allah
SWT, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliahPendidikan Anak Tuna Grahita, Selain itu juga
sebagai media latihan untuk bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan.
Dalam kesempatan ini, tidak lupa
pula penyusun mengucapkan terima kasih atas bantuan, dorongan, pengarahan serta
dukungannya kepada:
1.
Allah SWT
2.
Ibu Mumpuniarti, M.Pd selaku Dosen
pengampu Mata Kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita.
3.
Segenap teman-teman seperjuangan
4.
Seluruh keluarga yang tercinta dan semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari
sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Besar harapan
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
Yogyakarta, April
2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 1
C.
Tujuan Penulisan 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tuna Grahita 3
B.
Penerapan Konsep Belajar
Sambil Bermain 5
C.
Definisi dan Manfaat
Permainan Meronce 7
PENUTUP
A.
Kesimpulan 10
B.
Saran 10
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataan
mengenai anak-anak luar biasa yang jumlahnya semakin banyak di dunia kita ini,
pertama kali dilihat oleh Nancy Ann Tappe yang menciptakan istilah deskriptif
ini dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1982 “ Understanding Your Life
Through Color”. Banyak pula klasifikasi kelainan bagi anak luar biasa atau
sekarang lebih dikenal dengan Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ). Salah satu tipe
anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan IQ ( kecerdasan intelektual )
rendah atau terkenal dengan sebutan Down Syndrom.
Down
Syndrom atau Tuna Grahita adalah suatu gangguan fungsi intelektual di bawah
rata – rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum
seseorang berumur 18 tahun. Saat ini kategori anak Tuna Grahita atau lemah otak
semakin berkembang jumlahnya. Hal inilah yang menjadi suatu permasalahan
tersendiri bagi para ortopedagog serta orang tua penderita yang memiliki anak
Tuna Grahita. Untuk itu telah banyak penelitian dan aktivitas yang dilakukan
para ahli untuk mengetahui seluk beluk mengenai anak penyandang Tuna Grahita
ini.
Karakteristik
anak tuna grahita yang mudah bosan dan kurang mampunya untuk menyimpan long
term memori, sehingga perlu adanya sistem pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan. Konsep teori belajar sambil bermain dirasa dapat memberikan hasil
yang optimal bagi anak tunagrahita. Pada teori ini, juga dipilih permainan yang
dapat melatih kemampuan motorik kasar, motorik halus, melatih emosi, pengenalan
warna dan bentuk bagi anak tuna grahita. Salah satu jenis permainan itu, yaitu
meronce. Meronce merupakan jenis permainan yang menarik bagi siswa, selain itu
bermanfaat besar bagi anak- anak penyandang ketunagrahitaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
definisi dan ciri- ciri anak tuna grahita ringan?
2. Bagaimana
penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak tuna grahita ringan?
3. Bagaimana
penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak tuna grahita?
C. Tujuan
1. Memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita dengan dosen pengampu Ibu
Mumpuniarti, MPd
2. Mengetahui
pengertian dan ciri-ciri tuna grahita ringan.
3. Mengetahui
bagaimana penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak tuna grahita.
4. Mengetahui
bagaimana penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak tuna grahita.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Tuna Grahita
Tunagrahita
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan
intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan
istilah-istilah mental retardation,
mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll. Sedangkan
menurut Tredgold th. 1937 (dalam Smile et.all., 2002:47) menyatakan bahwa
individu dianggap tunagrahita ditandai oleh perkembangan mental yang tidak
sempurna dengan bermacam-macam tingkatan tidak mampu beradaptasi dengan
lingkungan normal dan membutuhkan perawatan, supervisi, dan kontrol.
Menurut
Edgare Dole (1941) seseorang dianggap cacat mental jiak ditandai: 1. Tidak
berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sampai tingkat
dewasa; 2. Mental di bawah normal; 3. Terlambat kecerdasannya sejak lahir; 4.
Terlambat tingkat kemasakannya; 5. Akibat pembawaan dari keturunannya; 6. Tidak
dapat disembuhkan. Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan
antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata.
Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita
dengan anak normal semakin terlihat jelas.
Untuk
memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini
yang dikembangkan oleh AAMD (American
Association of Mental Deficiency) sebagai berikut: Keterbelakangan mental
menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai
ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan
(Kauffman dan Hallahan :1986).
Kemampuan
intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet da Skala
Weschler (WISC), antara lain Tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan
tunagrahita berat. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil.
Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala
Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis
dan menghitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak
terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan uuntuk
dirinya sendiri.
Anak terbelakang
mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan
laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tanggabahkan jika dilatih dan
dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik
dnegan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak
mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Pada umumnya
anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik
tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan
secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Bila
dikehendaki, mereka masih dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar.
Ia akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa.
Dalam hal
kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak
normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak
tunagrahita lebih banyak memerlukan
ulangan tentang bahan tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran,
ternyata anak tunagrahita dapat mencapai prestasi yang lebih baik dalam tugas
diskriminasi, misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola
yang berbeda jika mereka melakukannya dengan perhatian. Penelitian lain
mengenai verbal recall, perbedaananak
tunagrahita dengan anak normal yang masih duduk di taman kanak-kanak, ternyata
tidak terletak pada kecepatan, melainkan pada strategi memproses recall. Anak taman
kanak-kanak lebih efisien daripada anak tunagrahita karena menemukan kaidah
(Suhaeri, HN., 1984).
Berkenaan denga
memori, anak tunagrahita berbeda dengan
anak normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda
dengan anak normal dalam lng term memory, daya ingatnya sama dengan anak
normal. Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan
jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963)
menetapkan teori kejenuhan Cortical trehadap anak tunagrahita. Spitz mengajukan
sebuah hipotesis bahwa sel Cortical anak tunagrahita lebih lambat dalam
perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik.
B.
Konsep
Belajar Sambil Bermain
Bagi anak,
bermain adalah suatu kegiatan yang serius, tetapi mengasyikkan. Bermain
merupakan aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak. Bermain adalah salah satu
alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium,
dimana anak mencoba diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar-benar
secara aktif. Permainan adalah alat bagian anak untuk menjelajahi dunianya yang
tak ia kenali sampai pada yang ia tahu, dan dari yang dapat diperbuatnya,
sampai mampu melakukannya.
Di dalam Johnson
et al (1999) dikemukakan bahwa istilah bermain merupakan konsep yang tidak
mudah untuk dijabarkan, bahkan di dalam Oxfrord
English Dictionary, tercantum 116 definisi tentang bermain sebagai kegiatan
yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Tetapi ahli lain membantah
pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan dilakukan semata-mata demi
kesenangan, melainkan ada sasaran yang ingin dicapai yaitu prestasi tertentu.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Smith et al, Garvey, Rubin, Fein &
Vanberg (dalam Johnson et al, 1999)
diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu sebagai berikut:
1. Dilakukan
berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta
untuk kepentingan sendiri.
2. Perasaan
dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang
positif. Kalaupun emosi positi tidak tampil, setidaknya kegiatan bermain
memiliki nilai (value) bagi anak.
3. Fleksibilitas
yang ditandai dengan mudahnnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke
aktivitas lain.
4. Lebih
menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil ahir. Saat bermain,
perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan yang berlangsung dibandingkan
tujuan yang ingin dicapai.
5. Bebas
memilih, dan ciri merupakan elemen yan sangat penting bagi konsep bermain pada
anak-anak kecil.
6. Mempunyai
kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang
memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini berlaku
untuk semua bentuk kegatan bermain seperti bermain peran, menyusun balok-balok,
menyusun kepingan gambar, dll.
Sejarah perkembangan teori bermain di dunia berawal
dari seorang filsuf Yunani yang bernama Plato. Plato dianggap sebagai orang
pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dalam bermain.
Menurut Plato, anak-anak akan lebih memahami aritmatika dengan membagikan apel
kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat pemainan miniatur balok-balok
kepada anak. Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu
didorong untuk bermain dengan apa yang mereka tekuni di masa dewasa nanti.
Selain itu, Frobel lebih menekankan pada pentingnya
bermain dalam belajar karena berdasarkan
pengalamannya sebagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun
permainan yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta
mengembangkan pengetahuan mereka. Jadi, ketiga tokoh diatas, menganggap bermain
sebagai kegiatan yang memiliki nilai praktis. Artinya, bermain digunakan
sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak.
Dibawah ini, dapat dijabarkan teori klasik menganai
konsep belajar sambil bermain, antara lain:
Tabel
1.1. Teori-teori Klasik
Teori
|
Penggagas
|
Tujuan Bermain
|
Surplus Energi
|
Schiller/Spencer
|
Mengeluarkan Energi berlebih
|
Rekreasi
|
Lazarus
|
Memulihkan
tenaga
|
Rekapitulasi
|
Hall
|
Memunculkan insting nenek moyang
|
Praktis
|
Gross
|
Menyempurnakan
insting
|
Sumber: Mayke
S. Tedjasaputra (2001: 6)
Selain teori klasik diatas, muncul pula berbagai
teori modern yang mengkaji tentang bermain. Tidak hanya menjelaskan mengapa
muncul perilaku bemain. Para tokoh juga berusaha untuk menjelaskan manfaat
bermain bagi perkembangan anak.
Tabel 1.2. Teori-teori Modern tentang bermain
Teori
|
Peran Bermain dalam Perkembangan Anak
|
Psikoanalitik
|
Mengatasi pengalaman traumatik, coping tehadap frustasi
|
Kognitif- Piaget
|
Mempraktekkan
dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta keterampilan yang telah
dipelajari sebelumnya
|
Kognitif- Vygotsky
|
Memajukan berpikir abstrak, belajar dalam kaitan ZPD,
dan pengaturan diri
|
Kognitif- Brunner/Sutton-Smith
|
Memunculkan
fleksibilitas perilaku dan berpikir, imajinasi dan narasi
|
Singer
|
Mengatur kecepatan stimulasi dari dalam dan dari luar
|
Teori-teori lain
Arousal Modulation
|
Tetap
membuat anak terjaga pada tingkat optimal dengan menambah stimulasi
|
Bateson
|
Memajukan kemampuan untuk memahami berbagai tingkatan
makna.
|
Sumber:
Jonson et al, 1999:9 (dalam Mayke S, Tedjasaputra, 2001:6)
Dalam Berk (1994), Rubin,
Fein, Vandenberg dan Smilansky mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan
bermain kognitif sebagai berikut:
1. Bermain
fungsional (Functional Playing)
Bermain seperti ini tampak pada anak
berusia 1 – 2 tahun, berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang.
Kegiatan bermain dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan.
2. Bermain
Membangun (Constructive Playing)
Bermain membangun sudah dapat
terlihat pada anak usia 3 – 6 tahun. Dalam kegiatan bermain ini anak membentuk
sesuatu, menciptakan bangunan teretntu dengan alat permainan yang tersedia.
3. Bermain
Pura-pura (Make-believe play)
Kegiatan bermain pura-pura mulai
banyak dilakukan oleh anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam bermain pura-pura anak
menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.
Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang
dikenalnya melalui film kartun atau dongeng.
4. Permainan
dengan peraturan (Games with rules)
Kegiatan bermain jenis ini umumnya
sudah dapat dilakukan anak usia 6 – 11 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak
sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan.
Kathleen Stassen Berger (1983) mengemukakan bahwa
kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
a. Sensory Motor Play (Bermain
yang mengandalkan indra dan gerakan-gerakan tubuh).
Keasyikan
bermain ini terlihat pada bayi hingga anak usia prasekolah. Misalnya keasyikan
saat anak mendengar suara air yang ditiup dengan sedotan, suara air yang
tertimpa kerikil yang mereka lemparkan, anak-anak juga menikmati berbagai
tekstur yang mereka rasakan saat bermain dengan lilin, tanah liat, pasir dll.
b. Mastery Play (Bermain
untuk menguasai keterampilan tertentu)
Misalnya mengisi teka-teki, bermain
tebak-tebakan, menyusun potongan gambar, menyusun huruf-huruf untuk membentuk
kata-kata atau kalimat tertentu.
c. Rough and Tumble Play (Bermain
kasar).
Misalnya
menggambar, menyususn potongan gambar, ataupun permainan video dan komputer den
semacamnya.
d. Social Play (Bermain
bersama).
Misalnya, sekelompok anak secara
bersama-sama akan tertawa, meloncat-loncat, bertepuk tangan riang tanpa adanya
kejadian yang benar-benar lucu.
e. Dramatic Play (Bermain
peran atau khayal).
Dalam bermain peran atau khayal
ini, misalnya anak tampak sedang menyuapi boneka, mengajak bicara dan bermain,
mengajari boneka binatangnya berpakaian dan sebagainya.
C.
Penerapan
dan Manfaat Keterampilan Meronce
Meronce
merupakan salah satu keterampilan dan juga termasuk dalam konsep belajar sambil
bermain. Meronce termasuk dalam jenis permainan edukatif. Permainan edukatif
adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan
dan mempunyai beberapa ciri khusus, yaitu:
1. Dapat
diguunakan dalam berbagai cara, maksudnya dapat dimainkan dengan bermacam-macam
tujuan, manfaat dan menjadi bermacam-macam bentuk
2. Ditujukan
terutama untuk anak-anak usia prasekolah dan berfungsi mengembanngkan berbagai
aspek perkembangan kecerdasan serta motorik anak
3. Segi
keamanan sangat diperhatikan baik dari bentuk maupun pennggunaan cat
4. Membuat
anak terlihat scara aktif
5. Sifatnya
konstruktif.
Setiap alat
permainan edukatif dapat difungsikan secara multiguna. Sekalipun masing-masing
alat memiliki kekhususan, dalam artian mengembanngan aspek perkembangan
tertentu pada anak, tidak jarang satu alat dapat meningkatkan lebih dari satu
aspek perkembangan. Sebagian alat permainan edukatif dikenal sebagai alat
manipulatif. Manipulatif berarti menggunakan secara terampil, dapat
diperlakukan menurut dan kehendak dan pemikiran serta imajinasi anak.
Kegiatan memasukkan manik-manik ke dalam benang ini merupakan latihan
agar anak dapat berkonsentrasi. Dan yang
lebih penting lagi adalah merupakan tahapan pra-membaca anak. Kegiatan meronce sendiri mempunyai beberapa tahap perkembangan. Anak dapat dikatakan siap diajari membaca jika sudah bisa meronce dengan menggunakan pola. Karena pada tahapan ini,
anak sudah bisa mulai mengklasifikasikan sesuatu. Suatu tahapan yang
diperlukan ketika anak mulai belajar membaca. Karena dalam pelajaran membaca,
anak harus bisa membedakan bentuk huruf yang berbeda-beda.
Menurut The Creative Center for Childhood Research and Training,
Inc,
tahap-tahap dalam meronce antara lain:
Tahap
1
Main mengosongkan/mengisi
Tahap 2
Merangkai:
Digunakansebagaibahan main peran (misal: kalung, menuntunanjing)
Tahap 3
Merangkaiterusmenerus
Tahap 4
Merangkaiberdasarkanwarna
Tahap 5
Merangkaiberdasarkanbentuk
Tahap 6
Merangkaiberdasarkanpengelompokanbentuk/warna
Tahap 7
Merangkaiberdasarkanwarna,
bentuk DAN ukuran
Tahap 8
Membuatpolasendiri
Tahap 9
Membacapolakartudaribermacammacamtingkatkesulitan
Meronce sendiri ternyata tidak hanya sebagai
pengajaran keterampilan bagi anak. Anak tidak hanya bermain dengan merangkai
manik-manik atau kayu-kayuan berwarna-warni. Meronce memiliki berbagai manfaat
yang baik untuk perkembangan ank, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus,
dalam hal ini anak tunagrahita.
Manfaat meronce juga dapat mengembangkan berbagai
komponen nggunakan kecerdasan, antara lain sebagai berikut:
·
Kecerdasan Linguistik / Verbal
Kecerdasan linguistik
– verbal mengacu pada kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu
menggunakan kemampuan ini secara kompeten melalui kata-kata untuk mengungkapkan
pikiran-pikiran ini dalam berbicara, membaca, dan menulis.
Kecerdasan
linguistik pada anak dapat dibagi menjadi kemampuan verbal dan kemampuan
membaca. Dalam meronce, dapat menggunakan manik-manik yang bertuliskan huruf.
Sehingga dengan meronce, anak dapat sekaligus merangkai berbagai huruf menjadi
sebuah kalimat yang biasa diucapkan anak, misalnya merangkai menjadi nama anak
tersebut. Selain anak dapat mengenal abjad dan kata, anak juga dapat
mengucapkan kata-kata sederhana, meningkatkan kemampuan membaca dari meronce
tersebut. Anak juga dapat menyuarakan kata tersebut, yang secara langsung anak
juga memperkaya kosakata melalui permainan ini.
·
Kecerdasan Mathematic/ Logis
Kecerdasan
mathematis dan logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan persatuan,
pola dan pemikiran logis dan ilmiah. Komponen kecerdasan matematik dan logis
meliputi meningkatkan logika dan memperkuat keterampilan berpikir, mengenal
angka, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, meningkatkan daya ingat.
Dalam meronce, dapat digunakan manik-manik yang bertuliskan angka-angka dan
tanda operasi pembilangan seperti +, -, dan =.
Anak juga dapat dengan mudah mengingat angka-angka dan bagaimana
operasinya karena dilakukan dengan bermain.
Selain mengenal
angka dan meningkatkan daya ingat, meronce dalam komponen kecerdasan
matematik/logis dapat pula digunakan untuk pengenalan bentuk-bentuk geometri
pada anak tunagrahita, seperti pengenalan bentuk kotak/kubus, lingkaran,
segitiga, segienam, maupun bentuk lainnya. Pengenalan warna juga dapat
dilakukan, berbagai manik-manik yang digunakan untuk meronce dapat memperkuat daya
ingat anak tunagrahita dalam mengenal warna-warna, seperti warna merah, kuning,
hijau, biru, dan berbagai warna lainnya. Manfaat lainnya juga dapat digunakan
untuk melatih anak berhitung, misalnya anak diminta oleh guru/orang tua untuk
menyusun sepuluh manik-manik untuk digunakan dalam meronce.
·
Kecerdasan Visual dan Spasial
Kecerdasan
visual-spasial adalah kecerdasan yang dimiliki oleh arsitek, insinyur mesin,
seniman, fotografer, pilot, navigator, pemahat dan penemu. Dalam hal ini
berhubungan dengan indera penglihatan (visual) dan estetika seni pada anak.
Selain itu, aspek ini juga dapat mengembangkan kreativitas, meningkatkan daya
ingat, dan membantu anak mengungkapkan perasaan dan emosi.
Meronce dalam
komponen kecerdasan visual dan spasial dapat membuat anak berimajinasi untuk
bereksperimen dengan warna manik-manik yang digunakan untuk meronce. Pemilihan
warna dalam meronce juga dapat menunjukkan bagaimana perasaaan atau emosi anak
tersebut, termasuk dalam hal ini anak tunagrahita.
·
Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan
kinestetik memungkinkan anak untuk membangun hubungan penting antara pikiran
dan tubuh, dengan demikian memungkinkan tubuh untuk memanipulasi obyek dan
menciptakan gerakan. Kecerdasan kinestetik juga menyangkut tentang perkembangan
psikomotor anak, meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
Motorik halus
merupakan perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat
syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. Motorik halus merupakan
pengendalian kelompok otot yang lebih kecil dan dapat digunakan untuk
menggenggam, menulis, dan mempergunakan alat. Gerakan terampil belum dapat
dikuasai sebelum mekanisme otot anak berkembang. Anak harus mempelajari
kemampuan motorik agar mampu melakukan sesuatu bagi diri anak sendiri.
Tuna grahita
adalah hambatan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan
ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama
pertumbuhan. Anak tuna grahita memiliki IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki
keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usia
anak (Supratiknya, 1995).
Perkembangan
motorik halus anak taman kanak-kanak ditekankan pada koordinasi gerakan motorik
halus dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu
objek dengan menggunakan jari tangan. Pada usia 4 tahun koordinasi gerakan
motorik halus anak sangat berkembang bahkan hampir sempurna. Walaupun demikian
anak usia ini masih mengalami kesulitan dalam menyusun balok-balok menjadi
suatu bangunan. Hal ini disebabkan oleh keinginan anak untuk meletakkan balok
secara sempurna sehingga kadang-kadang meruntuhkan bangunan itu sendiri.
Pada usia 5 atau
6 tahun koordinasi gerakan motorik halus berkembang pesat. Pada masa ini anak
telah mampu mengkoordinasikan gerakan visual motorik, seperti mengkoordinasikan
gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan,antara lain
dapat dilihat pada waktu anak menulis atau menggambar.
Meronce termasuk salah satu permainan edukatif yang
dapat melatih motorik halus anak, khususnya anak tuna grahita. Dengan meronce,
anak akan melatih bagaimana koordinasi antara mata, dengan anggota gerak dalam
hal ini tangan. Saat memasukkan manik-manik dalam benang, tali atau senar untuk
meronce, anak juga dilatih berkonsentrasi, melatih emosi dalam hal ini
bersabar.
·
Kecerdasan Interpersonal dan kecerdasan
Intrapersonal
Kecerdasan
interpersonal menyangkut dari perkembangan emosi dan fisik anak dan juga
mengenai bagaimana berhubungan dengan orang-orang disekitar anak. Selain
meronce, anak juga dapat berinteraksi dengan sesamanya, anak dilatih emosinya,
bekerja sama dengan teman sebayanya, serta belajar menghargai orang lain.
Kecerdasan
intrapersonal anak berkaitan dengan diri anak itu sendiri. Dalam meronce, anak dapat dilatih juga bagaimana
mengendalikan emosinya (sabar) dalam memasukkan manik-manik kedalam benang. Anak
tuna grahita juga dapat memotivasi diri mereka, sehingga dengan meronce ini
anak semakin semangat untuk menyelesaikan permainan ini. Selain itu, anak juga
dilatih bertanggung jawab terhadap kegiatannya itu, dalam hal ini meronce.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Definisi Tuna Grahita
Tunagrahita adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual
di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded,
mental deficiency, mental defective, dll. Sedangkan menurut Tredgold th.
1937 (dalam Smile et.all., 2002:47) menyatakan bahwa individu dianggap
tunagrahita ditandai oleh perkembangan mental yang tidak sempurna dengan
bermacam-macam tingkatan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan normal dan
membutuhkan perawatan, supervisi, dan kontrol.
2. Konsep Belajar Sambil Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dipilih
sendiri oleh anak. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan
untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, dimana anak mencoba diri, bukan
saja dalam fantasinya tetapi juga benar-benar secara aktif. Permainan adalah
alat bagian anak untuk menjelajahi dunianya yang tak ia kenali sampai pada yang
ia tahu, dan dari yang dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Smith et al, Garvey, Rubin, Fein &
Vanberg (dalam Johnson et al, 1999)
diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu sebagai berikut:
1.
Dilakukan berdasarkan motivasi
intrinsik, maksudnya muncul atas
keinginan
pribadi serta untuk kepentingan sendiri.
2.
Perasaan dari orang yang terlibat dalam
kegiatan bermain diwarnai oleh
emosi-emosi
yang positif. Kalaupun emosi positif tidak tampil,
setidaknya
kegiatan bermain memiliki nilai (value)
bagi anak.
3.
Fleksibilitas yang ditandai dengan
mudahnnya kegiatan beralih dari satu
aktivitas
ke aktivitas lain.
4.
Lebih menekankan pada proses yang
berlangsung dibandingkan hasil
akhir.
Saat bermain, perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan
yang
berlangsung dibandingkan tujuan yang ingin dicapai.
5.
Bebas memilih, dan ciri merupakan elemen
yang sangat penting bagi
konsep
bermain pada anak-anak kecil.
6.
Mempunyai kualitas pura-pura.
Kathleen Stassen Berger (1983) mengemukakan bahwa
kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
a. Sensory Motor Play (Bermain
yang mengandalkan indra dan gerakan-gerakan tubuh)
b. Mastery Play (Bermain
untuk menguasai keterampilan tertentu)
c. Rough and Tumble Play (Bermain
kasar)
d. Social Play (Bermain
bersama).
e. Dramatic Play (Bermain
peran atau khayal).
3. Penerapan dan Manfaat
Keterampilan Meronce
Meronce merupakan salah satu keterampilan dan juga
termasuk dalam konsep belajar sambil bermain. Meronce termasuk dalam jenis
permainan edukatif. Permainan edukatif adalah alat permainan yang dirancang
secara khusus untuk kepentingan pendidikan.
Menurut The Creative Center for Childhood Research and Training,
Inc,
tahap-tahap dalam meronce antara lain:
Tahap 1 : Main
mengosongkan atau mengisi
Tahap 2 :
Merangkai atau digunakan sebagai bahan main peran
(misal:kalung
menuntun anjing)
Tahap 3 :
Merangkai terus menerus
Tahap 4 :
Merangkai berdasarkan warna
Tahap 5 :
Meangkai berdasarkan bentuk
Tahap 6 :
Merangkai berdasarkan pengelompokan bentuk/warna
Tahap 7 :
Merangkai berdasarkan warna dan ukuran
Tahap 8 :
Membuat pola sendiri
Tahap 9 :
Membaca pola kartu dari bermacam-macam tingkat kesulitan
Manfaat meronce juga dapat mengembangkan berbagai
komponen nggunakan kecerdasan, antara lain sebagai berikut:
·
Kecerdasan Linguistik / Verbal
·
Kecerdasan Mathematic/ Logis
·
Kecerdasan Visual dan Spasial
·
Kecerdasan Kinestetik
·
Kecerdasan Interpersonal dan kecerdasan
Intrapersonal
Secara
garis besar dapat diketahui manfaat meronce, yaitu:
1. Meningkatkan
daya ingat anak
2. Meningkatkan
kreativitas
3. Mengenalkan
anak dengan bentuk geometri, warna, angka, dan huruf
4. Melatih
motorik halus dan motorik kasar anak
5. Melatih
tingkat kesabaran / kontrol emosi pada anak tunagrahita
6. Melatih
daya konsentrasi anak tunagrahita
7. Melatih
kepercayaan diri anak tunagrahita
8. Melatih
keterampilan dalamm memecahkan masalah
9. Melatih
anak bekerja sama dengan orang lain
10. Melatih
kemampuan motivasi diri.
B. SARAN
1. Pemerintahmemberikan peluang usaha bagi home
industri atau industri lain, khususnya bagi pemilik usaha yang memiliki usaha
dalam pembuatan perminan edukatif
2. hendaknya setiap sekolah memiliki berbagai
jenis permainan edukatif untuk menunjang pembelajaran bagi anak didik mereka,
khususnya di SLB yang menyediakan kelas kekhususan tidak hanya tunagrahita
3. Keluarga hendaknya mengetahui jenis
permainan yang baik untuk anak, tidak mengandung zat kimia dan zat pewarna
4. Pihak keluarga seharusnya perlu melakukan
kontrol terhadap semua jenis mainan dan lebih memilih penggunaan mainan
edukatif, yang memberikan manfaat besar bagi tumbuh kembang anak.
5. keluarga juga diharapkan ikut dalam proses
belajar sambil bermain, dalam hal ni ikut meninjau atau mendampingi anak saat
melakukan bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Tedjasaputra, Maykes. (2001). Bermain, Mainan, dan Permainan untuk
Pendidikan
Anak Usia Dini. Jakarta:
Grasindo
Suprihatin. (2004). Aneka Keterampilan. Yogyakarta: AdiCita
Lwin, May.dkk. (2008). How to Multiply Your Child’s Intelligence – Cara
Mengembangkan Berbagai
Komponen Kecerdasan. Yogyakarta:
Indeks
Semiawan, Conny R. (2008). Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan
Sekolah
Dasar. Yogyakarta: Indeks
Sidiarto, Lily
Djokosetio. (2007). Perkembangan Otak dan
Kesulitan Belajar
Pada
Anak.Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia
Somanti, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama
Jensen, Eric. (2008). Memperkaya Otak – Cara Memaksimalkan Potensi
Setiap
Pembelajar.
Jakarta: Indeks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar