Jumat, 09 Maret 2012

MAKALAH PEND. ANAK TUNAGRAHITA




Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tunagrahita



 




Disusun oleh
Nama              :        Nur Indah Dilla M
NIM              :        10103241031





PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011


KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum wr.wb.
            Alhamdulillah segala puja puji syukur kami panjatkan ke hadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh kaum muslimin dan muslimat yang setiasa istikomah mengikuti petunjuknya.
            Berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahPendidikan Anak Tuna Grahita, Selain itu juga sebagai media latihan untuk bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan.
            Dalam kesempatan ini, tidak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih atas bantuan, dorongan, pengarahan serta dukungannya kepada:
1.      Allah SWT
2.      Ibu Mumpuniarti, M.Pd selaku Dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita.
3.      Segenap teman-teman seperjuangan
4.      Seluruh keluarga yang tercinta dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Besar harapan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta,  April  2011



Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL                                                                                                i
KATA PENGANTAR                                                                                             ii
DAFTAR ISI                                                                                                          iii
PENDAHULUAN                                                                                       
A.    Latar Belakang                                                                                                        1
B.     Rumusan Masalah                                                                                                  1
C.     Tujuan Penulisan                                                                                                     2
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tuna Grahita                                                                                        3
B.     Penerapan Konsep Belajar Sambil Bermain                                                         5
C.     Definisi dan Manfaat Permainan Meronce                                                           7
PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                                                            10
B.     Saran                                                                                                                     10
DAFTAR PUSTAKA





PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kenyataan mengenai anak-anak luar biasa yang jumlahnya semakin banyak di dunia kita ini, pertama kali dilihat oleh Nancy Ann Tappe yang menciptakan istilah deskriptif ini dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1982 “ Understanding Your Life Through Color”. Banyak pula klasifikasi kelainan bagi anak luar biasa atau sekarang lebih dikenal dengan Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ). Salah satu tipe anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan IQ ( kecerdasan intelektual ) rendah atau terkenal dengan sebutan Down Syndrom.
Down Syndrom atau Tuna Grahita adalah suatu gangguan fungsi intelektual di bawah rata – rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum seseorang berumur 18 tahun. Saat ini kategori anak Tuna Grahita atau lemah otak semakin berkembang jumlahnya. Hal inilah yang menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi para ortopedagog serta orang tua penderita yang memiliki anak Tuna Grahita. Untuk itu telah banyak penelitian dan aktivitas yang dilakukan para ahli untuk mengetahui seluk beluk mengenai anak penyandang Tuna Grahita ini.
Karakteristik anak tuna grahita yang mudah bosan dan kurang mampunya untuk menyimpan long term memori, sehingga perlu adanya sistem pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Konsep teori belajar sambil bermain dirasa dapat memberikan hasil yang optimal bagi anak tunagrahita. Pada teori ini, juga dipilih permainan yang dapat melatih kemampuan motorik kasar, motorik halus, melatih emosi, pengenalan warna dan bentuk bagi anak tuna grahita. Salah satu jenis permainan itu, yaitu meronce. Meronce merupakan jenis permainan yang menarik bagi siswa, selain itu bermanfaat besar bagi anak- anak penyandang ketunagrahitaan.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi dan ciri- ciri anak tuna grahita ringan?
2.      Bagaimana penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak tuna grahita ringan?
3.      Bagaimana penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak tuna grahita?


C.    Tujuan
1.      Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita dengan dosen pengampu Ibu Mumpuniarti, MPd
2.      Mengetahui pengertian dan ciri-ciri tuna grahita ringan.
3.      Mengetahui bagaimana penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak tuna grahita.
4.      Mengetahui bagaimana penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak tuna grahita.




PEMBAHASAN

A.    Definisi Tuna Grahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll. Sedangkan menurut Tredgold th. 1937 (dalam Smile et.all., 2002:47) menyatakan bahwa individu dianggap tunagrahita ditandai oleh perkembangan mental yang tidak sempurna dengan bermacam-macam tingkatan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan normal dan membutuhkan perawatan, supervisi, dan kontrol.
Menurut Edgare Dole (1941) seseorang dianggap cacat mental jiak ditandai: 1. Tidak berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sampai tingkat dewasa; 2. Mental di bawah normal; 3. Terlambat kecerdasannya sejak lahir; 4. Terlambat tingkat kemasakannya; 5. Akibat pembawaan dari keturunannya; 6. Tidak dapat disembuhkan. Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.
Untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Deficiency) sebagai berikut: Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallahan :1986).
Kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet da Skala Weschler (WISC), antara lain Tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan menghitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan uuntuk dirinya sendiri.
Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tanggabahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dnegan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Bila dikehendaki, mereka masih dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar. Ia akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa.
Dalam hal kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih  banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita dapat mencapai prestasi yang lebih baik dalam tugas diskriminasi, misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda jika mereka melakukannya dengan perhatian. Penelitian lain mengenai verbal recall, perbedaananak tunagrahita dengan anak normal yang masih duduk di taman kanak-kanak, ternyata tidak terletak pada kecepatan, melainkan pada strategi memproses recall. Anak taman kanak-kanak lebih efisien daripada anak tunagrahita karena menemukan kaidah (Suhaeri, HN., 1984).
Berkenaan denga memori, anak tunagrahita  berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam lng term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menetapkan teori kejenuhan Cortical trehadap anak tunagrahita. Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel Cortical anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik.

B.     Konsep Belajar Sambil Bermain
Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, tetapi mengasyikkan. Bermain merupakan aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, dimana anak mencoba diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar-benar secara aktif. Permainan adalah alat bagian anak untuk menjelajahi dunianya yang tak ia kenali sampai pada yang ia tahu, dan dari yang dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya.
Di dalam Johnson et al (1999) dikemukakan bahwa istilah bermain merupakan konsep yang tidak mudah untuk dijabarkan, bahkan di dalam Oxfrord English Dictionary, tercantum 116 definisi tentang bermain sebagai kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Tetapi ahli lain membantah pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan dilakukan semata-mata demi kesenangan, melainkan ada sasaran yang ingin dicapai yaitu prestasi tertentu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al, Garvey, Rubin, Fein & Vanberg  (dalam Johnson et al, 1999) diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu sebagai  berikut:
1.      Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.
2.      Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif. Kalaupun emosi positi tidak tampil, setidaknya kegiatan bermain memiliki nilai (value) bagi anak.
3.      Fleksibilitas yang ditandai dengan mudahnnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain.
4.      Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil ahir. Saat bermain, perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan yang berlangsung dibandingkan tujuan yang ingin dicapai.
5.      Bebas memilih, dan ciri merupakan elemen yan sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak kecil.
6.      Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu  yang  memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini berlaku untuk semua bentuk kegatan bermain seperti bermain peran, menyusun balok-balok, menyusun kepingan gambar, dll.
Sejarah perkembangan teori bermain di dunia berawal dari seorang filsuf Yunani yang bernama Plato. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dalam bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih memahami aritmatika dengan membagikan apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat pemainan miniatur balok-balok kepada anak. Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan apa yang mereka tekuni di masa dewasa nanti.
Selain itu, Frobel lebih menekankan pada pentingnya bermain  dalam belajar karena berdasarkan pengalamannya sebagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun permainan yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta mengembangkan pengetahuan mereka. Jadi, ketiga tokoh diatas, menganggap bermain sebagai kegiatan yang memiliki nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak.
Dibawah ini, dapat dijabarkan teori klasik menganai konsep belajar sambil bermain, antara lain:


Tabel 1.1. Teori-teori Klasik
Teori
Penggagas
Tujuan Bermain
Surplus Energi
Schiller/Spencer
Mengeluarkan Energi berlebih
Rekreasi
Lazarus
Memulihkan tenaga
Rekapitulasi
Hall
Memunculkan insting nenek moyang
Praktis
Gross
Menyempurnakan insting
 Sumber: Mayke S. Tedjasaputra (2001: 6)

Selain teori klasik diatas, muncul pula berbagai teori modern yang mengkaji tentang bermain. Tidak hanya menjelaskan mengapa muncul perilaku bemain. Para tokoh juga berusaha untuk menjelaskan manfaat bermain bagi perkembangan anak.
Tabel 1.2. Teori-teori Modern tentang bermain
Teori
Peran Bermain dalam Perkembangan Anak
Psikoanalitik
Mengatasi pengalaman traumatik, coping tehadap frustasi
Kognitif- Piaget
Mempraktekkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya
Kognitif- Vygotsky
Memajukan berpikir abstrak, belajar dalam kaitan ZPD, dan pengaturan diri
Kognitif- Brunner/Sutton-Smith
Memunculkan fleksibilitas perilaku dan berpikir, imajinasi dan narasi
Singer
Mengatur kecepatan stimulasi dari dalam dan dari luar
Teori-teori lain
Arousal Modulation
Tetap membuat anak terjaga pada tingkat optimal dengan menambah stimulasi
Bateson
Memajukan kemampuan untuk memahami berbagai tingkatan makna.
Sumber: Jonson et al, 1999:9 (dalam Mayke S, Tedjasaputra, 2001:6)
Dalam Berk (1994), Rubin, Fein, Vandenberg dan Smilansky mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan bermain kognitif sebagai berikut:
1.      Bermain fungsional (Functional Playing)
Bermain seperti ini tampak pada anak berusia 1 – 2 tahun, berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang. Kegiatan bermain dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan.
2.      Bermain Membangun (Constructive Playing)
Bermain membangun sudah dapat terlihat pada anak usia 3 – 6 tahun. Dalam kegiatan bermain ini anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan teretntu dengan alat permainan yang tersedia.
3.      Bermain Pura-pura (Make-believe play)
Kegiatan bermain pura-pura mulai banyak dilakukan oleh anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam bermain pura-pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga anak melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang dikenalnya melalui film kartun atau dongeng.
4.      Permainan dengan peraturan (Games with rules)
Kegiatan bermain jenis ini umumnya sudah dapat dilakukan anak usia 6 – 11 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan.
Kathleen Stassen Berger (1983) mengemukakan bahwa kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
a.       Sensory Motor Play (Bermain yang mengandalkan indra dan gerakan-gerakan tubuh).
Keasyikan bermain ini terlihat pada bayi hingga anak usia prasekolah. Misalnya keasyikan saat anak mendengar suara air yang ditiup dengan sedotan, suara air yang tertimpa kerikil yang mereka lemparkan, anak-anak juga menikmati berbagai tekstur yang mereka rasakan saat bermain dengan lilin, tanah liat, pasir dll.
b.      Mastery Play (Bermain untuk menguasai keterampilan tertentu)
Misalnya mengisi teka-teki, bermain tebak-tebakan, menyusun potongan gambar, menyusun huruf-huruf untuk membentuk kata-kata atau kalimat tertentu.
c.       Rough and Tumble Play (Bermain kasar).
Misalnya menggambar, menyususn potongan gambar, ataupun permainan video dan komputer den semacamnya.
d.      Social Play (Bermain bersama).
Misalnya, sekelompok anak secara bersama-sama akan tertawa, meloncat-loncat, bertepuk tangan riang tanpa adanya kejadian yang benar-benar lucu.
e.       Dramatic Play (Bermain peran atau khayal).
Dalam bermain peran atau khayal ini, misalnya anak tampak sedang menyuapi boneka, mengajak bicara dan bermain, mengajari boneka binatangnya berpakaian dan sebagainya.

C.    Penerapan dan Manfaat Keterampilan Meronce
Meronce merupakan salah satu keterampilan dan juga termasuk dalam konsep belajar sambil bermain. Meronce termasuk dalam jenis permainan edukatif. Permainan edukatif adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan dan mempunyai beberapa ciri khusus, yaitu:
1.      Dapat diguunakan dalam berbagai cara, maksudnya dapat dimainkan dengan bermacam-macam tujuan, manfaat dan menjadi bermacam-macam bentuk
2.      Ditujukan terutama untuk anak-anak usia prasekolah dan berfungsi mengembanngkan berbagai aspek perkembangan kecerdasan serta motorik anak
3.      Segi keamanan sangat diperhatikan baik dari bentuk maupun pennggunaan cat
4.      Membuat anak terlihat scara aktif
5.      Sifatnya konstruktif.
Setiap alat permainan edukatif dapat difungsikan secara multiguna. Sekalipun masing-masing alat memiliki kekhususan, dalam artian mengembanngan aspek perkembangan tertentu pada anak, tidak jarang satu alat dapat meningkatkan lebih dari satu aspek perkembangan. Sebagian alat permainan edukatif dikenal sebagai alat manipulatif. Manipulatif berarti menggunakan secara terampil, dapat diperlakukan menurut dan kehendak dan pemikiran serta imajinasi anak.
Kegiatan memasukkan manik-manik ke dalam benang ini merupakan latihan agar anak dapat berkonsentrasi. Dan yang lebih penting lagi adalah merupakan tahapan pra-membaca anakKegiatan meronce sendiri mempunyai beberapa tahap perkembangan. Anak dapat dikatakan siap diajari membaca jika sudah bisa meronce dengan menggunakan pola. Karena pada tahapan ini, anak sudah bisa mulai mengklasifikasikan sesuatu. Suatu tahapan yang diperlukan ketika anak mulai belajar membaca. Karena dalam pelajaran membaca, anak harus bisa membedakan bentuk huruf yang berbeda-beda.
Menurut The Creative Center for Childhood Research and Training, Inc, tahap-tahap dalam meronce antara lain:
Tahap 1
Main mengosongkan/mengisi
Tahap 2
Merangkai: Digunakansebagaibahan main peran (misal: kalung, menuntunanjing)
Tahap 3
Merangkaiterusmenerus
Tahap 4
Merangkaiberdasarkanwarna
Tahap 5
Merangkaiberdasarkanbentuk
Tahap 6
Merangkaiberdasarkanpengelompokanbentuk/warna
Tahap 7
Merangkaiberdasarkanwarna, bentuk DAN ukuran
Tahap 8
Membuatpolasendiri
Tahap 9
Membacapolakartudaribermacammacamtingkatkesulitan

Meronce sendiri ternyata tidak hanya sebagai pengajaran keterampilan bagi anak. Anak tidak hanya bermain dengan merangkai manik-manik atau kayu-kayuan berwarna-warni. Meronce memiliki berbagai manfaat yang baik untuk perkembangan ank, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak tunagrahita.
Manfaat meronce juga dapat mengembangkan berbagai komponen nggunakan kecerdasan, antara lain sebagai berikut:
·         Kecerdasan Linguistik / Verbal
Kecerdasan linguistik – verbal mengacu pada kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakan kemampuan ini secara kompeten melalui kata-kata untuk mengungkapkan pikiran-pikiran ini dalam berbicara, membaca, dan menulis.
Kecerdasan linguistik pada anak dapat dibagi menjadi kemampuan verbal dan kemampuan membaca. Dalam meronce, dapat menggunakan manik-manik yang bertuliskan huruf. Sehingga dengan meronce, anak dapat sekaligus merangkai berbagai huruf menjadi sebuah kalimat yang biasa diucapkan anak, misalnya merangkai menjadi nama anak tersebut. Selain anak dapat mengenal abjad dan kata, anak juga dapat mengucapkan kata-kata sederhana, meningkatkan kemampuan membaca dari meronce tersebut. Anak juga dapat menyuarakan kata tersebut, yang secara langsung anak juga memperkaya kosakata melalui permainan ini.
·         Kecerdasan Mathematic/ Logis
Kecerdasan mathematis dan logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan persatuan, pola dan pemikiran logis dan ilmiah. Komponen kecerdasan matematik dan logis meliputi meningkatkan logika dan memperkuat keterampilan berpikir, mengenal angka, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, meningkatkan daya ingat. Dalam meronce, dapat digunakan manik-manik yang bertuliskan angka-angka dan tanda operasi pembilangan seperti +, -, dan =.  Anak juga dapat dengan mudah mengingat angka-angka dan bagaimana operasinya karena dilakukan dengan bermain.

Selain mengenal angka dan meningkatkan daya ingat, meronce dalam komponen kecerdasan matematik/logis dapat pula digunakan untuk pengenalan bentuk-bentuk geometri pada anak tunagrahita, seperti pengenalan bentuk kotak/kubus, lingkaran, segitiga, segienam, maupun bentuk lainnya. Pengenalan warna juga dapat dilakukan, berbagai manik-manik yang digunakan untuk meronce dapat memperkuat daya ingat anak tunagrahita dalam mengenal warna-warna, seperti warna merah, kuning, hijau, biru, dan berbagai warna lainnya. Manfaat lainnya juga dapat digunakan untuk melatih anak berhitung, misalnya anak diminta oleh guru/orang tua untuk menyusun sepuluh manik-manik untuk digunakan dalam meronce.
·         Kecerdasan Visual dan Spasial
Kecerdasan visual-spasial adalah kecerdasan yang dimiliki oleh arsitek, insinyur mesin, seniman, fotografer, pilot, navigator, pemahat dan penemu. Dalam hal ini berhubungan dengan indera penglihatan (visual) dan estetika seni pada anak. Selain itu, aspek ini juga dapat mengembangkan kreativitas, meningkatkan daya ingat, dan membantu anak mengungkapkan perasaan dan emosi.
Meronce dalam komponen kecerdasan visual dan spasial dapat membuat anak berimajinasi untuk bereksperimen dengan warna manik-manik yang digunakan untuk meronce. Pemilihan warna dalam meronce juga dapat menunjukkan bagaimana perasaaan atau emosi anak tersebut, termasuk dalam hal ini anak tunagrahita.
·         Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan kinestetik memungkinkan anak untuk membangun hubungan penting antara pikiran dan tubuh, dengan demikian memungkinkan tubuh untuk memanipulasi obyek dan menciptakan gerakan. Kecerdasan kinestetik juga menyangkut tentang perkembangan psikomotor anak, meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
Motorik halus merupakan perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. Motorik halus merupakan pengendalian kelompok otot yang lebih kecil dan dapat digunakan untuk menggenggam, menulis, dan mempergunakan alat. Gerakan terampil belum dapat dikuasai sebelum mekanisme otot anak berkembang. Anak harus mempelajari kemampuan motorik agar mampu melakukan sesuatu bagi diri anak sendiri.
Tuna grahita adalah hambatan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama pertumbuhan. Anak tuna grahita memiliki IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usia anak (Supratiknya, 1995).
Perkembangan motorik halus anak taman kanak-kanak ditekankan pada koordinasi gerakan motorik halus dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu objek dengan menggunakan jari tangan. Pada usia 4 tahun koordinasi gerakan motorik halus anak sangat berkembang bahkan hampir sempurna. Walaupun demikian anak usia ini masih mengalami kesulitan dalam menyusun balok-balok menjadi suatu bangunan. Hal ini disebabkan oleh keinginan anak untuk meletakkan balok secara sempurna sehingga kadang-kadang meruntuhkan bangunan itu sendiri.
Pada usia 5 atau 6 tahun koordinasi gerakan motorik halus berkembang pesat. Pada masa ini anak telah mampu mengkoordinasikan gerakan visual motorik, seperti mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan,antara lain dapat dilihat pada waktu anak menulis atau menggambar.
Meronce  termasuk salah satu permainan edukatif yang dapat melatih motorik halus anak, khususnya anak tuna grahita. Dengan meronce, anak akan melatih bagaimana koordinasi antara mata, dengan anggota gerak dalam hal ini tangan. Saat memasukkan manik-manik dalam benang, tali atau senar untuk meronce, anak juga dilatih berkonsentrasi, melatih emosi dalam hal ini bersabar.
·         Kecerdasan Interpersonal dan kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan interpersonal menyangkut dari perkembangan emosi dan fisik anak dan juga mengenai bagaimana berhubungan dengan orang-orang disekitar anak. Selain meronce, anak juga dapat berinteraksi dengan sesamanya, anak dilatih emosinya, bekerja sama dengan teman sebayanya, serta belajar menghargai orang lain.
Kecerdasan intrapersonal anak berkaitan dengan diri anak itu sendiri. Dalam  meronce, anak dapat dilatih juga bagaimana mengendalikan emosinya (sabar) dalam memasukkan manik-manik kedalam benang. Anak tuna grahita juga dapat memotivasi diri mereka, sehingga dengan meronce ini anak semakin semangat untuk menyelesaikan permainan ini. Selain itu, anak juga dilatih bertanggung jawab terhadap kegiatannya itu, dalam hal ini meronce.




PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Definisi Tuna Grahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll. Sedangkan menurut Tredgold th. 1937 (dalam Smile et.all., 2002:47) menyatakan bahwa individu dianggap tunagrahita ditandai oleh perkembangan mental yang tidak sempurna dengan bermacam-macam tingkatan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan normal dan membutuhkan perawatan, supervisi, dan kontrol.

2. Konsep Belajar Sambil Bermain
 Bermain merupakan aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, dimana anak mencoba diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar-benar secara aktif. Permainan adalah alat bagian anak untuk menjelajahi dunianya yang tak ia kenali sampai pada yang ia tahu, dan dari yang dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al, Garvey, Rubin, Fein & Vanberg  (dalam Johnson et al, 1999) diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu sebagai  berikut:
1.         Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas
keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.
2.         Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh
emosi-emosi yang positif. Kalaupun emosi positif tidak tampil,
setidaknya kegiatan bermain memiliki nilai (value) bagi anak.
3.         Fleksibilitas yang ditandai dengan mudahnnya kegiatan beralih dari satu
aktivitas ke aktivitas lain.
4.         Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil
akhir. Saat bermain, perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan
yang berlangsung dibandingkan tujuan yang ingin dicapai.
5.         Bebas memilih, dan ciri merupakan elemen yang sangat penting bagi
konsep bermain pada anak-anak kecil.
6.         Mempunyai kualitas pura-pura.
Kathleen Stassen Berger (1983) mengemukakan bahwa kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
a.       Sensory Motor Play (Bermain yang mengandalkan indra dan gerakan-gerakan tubuh)
b.      Mastery Play (Bermain untuk menguasai keterampilan tertentu)
c.       Rough and Tumble Play (Bermain kasar)
d.      Social Play (Bermain bersama).
e.       Dramatic Play (Bermain peran atau khayal).

3. Penerapan dan Manfaat Keterampilan Meronce
Meronce merupakan salah satu keterampilan dan juga termasuk dalam konsep belajar sambil bermain. Meronce termasuk dalam jenis permainan edukatif. Permainan edukatif adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan.
Menurut The Creative Center for Childhood Research and Training, Inc, tahap-tahap dalam meronce antara lain:
Tahap 1 : Main mengosongkan atau mengisi
Tahap 2 : Merangkai atau digunakan sebagai bahan main peran
(misal:kalung menuntun anjing)
Tahap 3 : Merangkai terus menerus
Tahap 4 : Merangkai berdasarkan warna
Tahap 5 : Meangkai berdasarkan bentuk
Tahap 6 : Merangkai berdasarkan pengelompokan bentuk/warna
Tahap 7 : Merangkai berdasarkan warna dan ukuran
Tahap 8 : Membuat pola sendiri
Tahap 9 : Membaca pola kartu dari bermacam-macam tingkat kesulitan
Manfaat meronce juga dapat mengembangkan berbagai komponen nggunakan kecerdasan, antara lain sebagai berikut:
·         Kecerdasan Linguistik / Verbal
·         Kecerdasan Mathematic/ Logis
·         Kecerdasan Visual dan Spasial
·         Kecerdasan Kinestetik
·         Kecerdasan Interpersonal dan kecerdasan Intrapersonal
Secara garis besar dapat diketahui manfaat meronce, yaitu:
1.      Meningkatkan daya ingat anak
2.      Meningkatkan kreativitas
3.      Mengenalkan anak dengan bentuk geometri, warna, angka, dan huruf
4.      Melatih motorik halus dan motorik kasar anak
5.      Melatih tingkat kesabaran / kontrol emosi pada anak tunagrahita
6.      Melatih daya konsentrasi anak tunagrahita
7.      Melatih kepercayaan diri anak tunagrahita
8.      Melatih keterampilan dalamm memecahkan masalah
9.      Melatih anak bekerja sama dengan orang lain
10.  Melatih kemampuan motivasi diri.        

B. SARAN
1.    Pemerintahmemberikan peluang usaha bagi home industri atau industri lain, khususnya bagi pemilik usaha yang memiliki usaha dalam pembuatan perminan edukatif
2.    hendaknya setiap sekolah memiliki berbagai jenis permainan edukatif untuk menunjang pembelajaran bagi anak didik mereka, khususnya di SLB yang menyediakan kelas kekhususan tidak hanya tunagrahita
3.    Keluarga hendaknya mengetahui jenis permainan yang baik untuk anak, tidak mengandung zat kimia dan zat pewarna
4.    Pihak keluarga seharusnya perlu melakukan kontrol terhadap semua jenis mainan dan lebih memilih penggunaan mainan edukatif, yang memberikan manfaat besar bagi tumbuh kembang anak.
5.    keluarga juga diharapkan ikut dalam proses belajar sambil bermain, dalam hal ni ikut meninjau atau mendampingi anak saat melakukan bermain.



DAFTAR PUSTAKA

Tedjasaputra, Maykes. (2001). Bermain, Mainan, dan Permainan untuk
Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Grasindo

Suprihatin. (2004). Aneka Keterampilan. Yogyakarta: AdiCita

Lwin, May.dkk. (2008). How to Multiply Your Child’s Intelligence – Cara
                        Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Yogyakarta: Indeks

Semiawan, Conny R. (2008). Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan
Sekolah Dasar. Yogyakarta: Indeks

Sidiarto, Lily Djokosetio. (2007). Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar
Pada Anak.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Somanti, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama

Jensen, Eric. (2008). Memperkaya Otak – Cara Memaksimalkan Potensi Setiap
Pembelajar. Jakarta: Indeks


Tidak ada komentar: