BAB I
PENGERTIAN, ISTILAH DAN DEFINISI ANAK TUNALARAS
Istilah Tunalaras berasal dari kata “Tuna” yang berarti kurang dan “Laras” berarti sesuai. Jadi anak tuna laras berarti anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat tempat ia berada.Tuna Laras menurut Heward dan Orlansky (dalam Muljono Abdurrahman dan Sudjadi S 1994:169) adalah “Anak-anak yang berkelainan perilaku yang secara fisik tidak berkelainan, akan tetapi menjadi berbahaya atau karena terisolasi dapat menjadi hambatan yang berat bagi perkembangan dan belajar sehingga mereka tampak seperti anak yang lamban belajar.
Pendapat lainnya, Somantri (2006) mennyatakan bahwa anak Tuna Laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tuna laras menunjukkan pertentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Sementara itu, Kauffman (1997) mengemukakan bahwa penyandang tuna laras adalah anak yang secara kronis dan mencolok berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara yang secara sosial tidak dapat diterima atau secar priadi tidak menyenangkan tetapi masih dapat diajari untuk bersikap yang secara sosial bisa diterima dan secara pribadi menyenanngkan.
Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 78 Tahun 2003 tentang Pendidikan Luar Biasa berbunyi: “Tuna Laras adalah gangguan atau hammbatan serta kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya”. Sedangkan Sechmid dan Mercer (1981) mengemukakan bahwa anak tuna laras adalah anak yang secar kondisi dan secar terus-menerus menunjukkan penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi proses belajar meskipun telah menerima layanan belajar dan bimbingan seperti anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan dengan baik dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, saraf atau inteligensia.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa pengertian tuna laras yaitu anak yang secara fisik tidak mengalami kelainan, tetapi mengalami hambatan emosional atau kelainan perilaku. Anak tuna laras kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketidakmampuan dalam berinteraksi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan menyebabkan anak tunalaras sering melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Penyimpangan perilaku tersebut dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti norma adat, norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan bahkan norma hukum. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut dapat berupa mencuri, mengganggu ketertiban umum, menyakiti orang lain, yang apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang dewasa maka orang tersebut dapat dikenakan hukum pidana. Sehingga diperlukan pelayanan pendidikan khusus bagi anak tunalaras.
Istilah Resmi bagi Tuna laras di Amerika Serikat:
Alaska : Serious Emotional Disturbance
Alabama : Emotional Conflict
Arkansas : Serious Emotional Handicap
Arizona : Emotional Handicap
California : Education Handicap
Connecticut : Social and Emotional Maladjustment
Colorado : Emotional and Behavior Disorder
District of Columbia : Emotional Disturbance
Delaware : Social and Emotional Maladjustment
Florida : Emotional Handicap
Georgia : Emotional and Behavior Disorder
Hawai : Emotional Handicap
Lowa : Behavior Disorder
Idaho : Emotional Impairment
Illionis : Behavior Disorder
Indiana : Emotional Handicap
Kansas : Personal and Social Adjustment Pr
Kentucky : Emotional Disturbance
Louisiana : Behavior Disorder
Massachusetts : Non- categorical
Maryland : Seriuos Emotional Disturbance
Maine : Emotional Handicap
Michigan : Emotional Impairment
Minnesota : Emotional / Behavior Disorder
Missisipi : Emotional Handicap
North Carolina : Serious Emotional
New Jersey : Emotional Disturbance
Nevada : Emotional Handicap
New York : Emotional Disturbance
Oklahama : Serious Emotional Disturbance
South Carolina : Emotional Handicap
Texas : Emotional Disturbance
Washington : Serious Emotional Disability
Sumber : J.M. Kauffman, Characteristic of Children’s Behavior Disorder (Columbus : Charles E, Merrill), PP 4-5
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KETUNALARASAN
Kauffman (DR.Sunardi,1995) menjelaskan sejarah pelayanan pendidikan anak tunalaras menjadi tiga zaman yaitu sebelum abad XIX, abad XIX, dan abad XX.
A. Sebelum abad XIX
Istilah atau pelabelan yang digunakan terhadap anak tunalaras yaitu anak gila, anak idiot. Saat itu penanganan belum ada, anak tersebut diperlakukan tidak manusiawi, yaitu di telantarkan, dibuang, disiksa, dilukai, disekap, dijauhi, dan sebagainya. Antara anak tunalaras dan anak tuna grahita masih tumpang tindih. Tidak jelas perbedaannya. Sehingga anak tunalaras pada taraf berat dikatagorikan tunagrahita. Sebaliknya anak tunagrahita dikelompokan pada anak tunalaras. Penanganan anak tunalaras yang berlaku saat itu banyak di tentang para ahli (Psikolog dan Psikiater) tidak setuju dan menetangnya, sekaligus berupaya untuk mengubah cara penangananya. Di antaranya, Phillipe Pinel (Perancis) dan Benjamin Rush (AS), kedua ahli tersebut berupaya mengembangkan pendekatan secara moral. John More Garpard Itard (Perancis) mengembangkan metode multisensori.
B. Abad XIX :
Samuel Gridley Howe (AS) menggunakan istilah simulative idiccy untuk tunalaras, yaitu mereka sebenarnya tidak tunagrahita tetapi tampak seperti tunagrahita. Tahun 1886 di Inggris terjadi pemisahan antara gila (tunalaras insanity) dan dungu (tunagrahita). Penyebab ketunalarasan di antaranya di kemukakan oleh Parkinson dan West, bahwa ketunalarasan disebabkan kondisi emosi dan lingkungan. Henry H.Goddard, beranggapan bahwa ketunalarasan disebabkan faktor keturunan, maka untuk mencegahnya perkawinan harus diatur secara selektif.
Penanganan yang dikembangkan oleh Pinel yaitu melalui pendekatan moral-psikologis. Pendekatan ini berupaya mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan olahraga, musik, vocational, akupasi, dan rekreasi yang dilakukan secara rutin, terstruktur, konsisten, dan pedekatan dari hati ke hati. Pelayanan pendidikan anak tunalaras sudah ada, walaupun masih bersatu dengan sekolah anak tunagrahita. Berdirinya panti-panti untuk menampung anak dan remaja tunalaras.
C. Abad XX :
Pengertian dan pelabelan Anak Tunalaras, antara lain Emotional Handicap, Behavior Disorder, Social/Emotional Disturbance, dan sebagainya. Faktor penyebab, tidak lagi memandang dari aspek genetik atau lingkungan, melainkan memandang dari berbagai sudut keilmuan yang beragam, dan dilihat dari faktor internal maupun eksternal. Lembaga-lembaga yang menangani anak tunalaras banyak berdiri, seperti: lembaga konsultasi dan bimbingan, perkumpulan ahli-ahli kesehatan mental, sekolah khusus dan kelas khusus, baik yang berasrama maupun yang tidak berasrama. Upaya penanggulangan atau pendidikan tidak hanya menekankan pada upaya kuratif dan represif, melainkan juga upaya prepentif.
Mulai tahun 1960-an, model pendekatan dalam pendidikan lebih jauh berkembang, yaitu munculnya beberapa model pendekatan pendidikan bagi anak tunalaras, yaitu : Pendekatan Psikoanalisa, dikembangkan Berkowitz dan Rotman; pendekatan Psikoeducational, dikembangkan Long, Morce, dan Newman; pendekatan Humanistik, dikembangkan Dennison, Grossman, Knoblock dan Goldstein; pendekatan Behavioristik, dikembangkan Hainz Werner, Strauss, dan Herbert Quay.
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pada sebelum abad XIX tunalaras sering disamakan dengan tunagrahita. Anak tunalaras sering diperlakukan tidak manusiawi. Penanganan terhadap anak tunalaras ditentang oleh masyarakat, namun ada ahli yang melakukan penanganan dengan metode multisensori. Pada Abad ke XIX, para ahli mulai dapat menyimpulkan bahwa tunalaras berbeda dengan tunagrahita, diketahui penyebab ketunalarasan berasal dari emosi dan lingkungan. Upaya penanganan anak tunalaras dengan pendekatan moral-psikologis. Sedangkan pada abad ke XX, muncul berbagai istilah mengenai tunalaras. Faktor genetik ditemukan sebagai penyebab dari ketunalarasan dan banyaknya lembaga yang menyediakan penanganan bagi anak tunalaras dengan berbagai metode.
BAB III
PREVALENSI DAN KLASIFIKASI KETUNALARASAN
Prevalensiyaitu suatu perkiraan mengenai jumlah anak yang berperilaku menyimpang di suatu tempat pada waktu tertentu. Dengan mengetahui prevalensi anak tunalaras pemerintah dan masyarakat dapat memperkirakan berapa jumlah anak yang harus dilayani secara khusus, sistem pelayanan bagi anak-anak ini, dan berbagai fasilitas yang diperlukan. Misalnya, jika diketahui bahwa prevalensi penyandang tunalaras usia sekolah di kabupaten tertentu adalah 3% dari jumlah anakusia sekolah sebesar 50.000 orang, berarti belum ada 1.500 anak tunalaras yang memerlukan layanan pendidikan khusus. Untuk mengumpulkann anak-anak ini di sekolah khusus jelas tidak mungki n, sebab sebagian besar diantara merka adalah penyandang tunalaras sedang/ringan dengan tingkat kecerdasan normal. Oleh karena itu, pihak Depdikbud Kabupaten dapat memprogamkan pendidikan terpadu bagi anak-anak ini, di samping memang ada sejumlah kecil dari mereka yang perlu dididik di sekolah khusus.
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975), mengungkapkan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:
1. anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
a. The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
2. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
a. Neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
b. Children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.
Jadi, dari beberapa uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwaprevalensi yaitu suatu perkiraan mengenai jumlah anak yang berperilaku menyimpang di suatu tempat pada waktu tertentu. Prevalensi tunalaras di Indonesia sekitar 3% dari jumlah anak usia sekolah sebesar 50.000 orang, berarti belum ada 1.500 anak tunalaras yang memerlukan layanan pendidikan khusus. Klasifikasi tunalaras itu sendiri terdiri dari anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, antara lain the semi-socialize child, children arrested at a primitive level of socialization, dan children with minimum socialization capacity. Selain itu juga terdapat anak yang mengalami gangguan emosi, antara lain neurotic behavior dan children with psychotic processes.
BAB IV
ASESMEN KETUNALARASAN
Asesmen ketunalarasan adalah pengumpulan informasi mengenai penyimpangan perilaku yang diperbuat oleh anak-anak yang menentukan sesuatu bentuk perilaku yang disandang oleh anak-anak. Ada empat metode yang dapat dipakai dalam proses asesmen ketunalarasan, antara lain:
1. Tes Standar atau baku
Tes baku yang dilakukan dalam asesmen ketunalarasan adalah tes intelegensi dan tes kepribadian. Tes intelegensi mengukur kemampuan umum anak. Tes kepribadian diharapkanmengukur traits atau mekanisme psikis dasar yang menyebabkan berbagai pola perilaku.
2. Wawancara
Wawancara dapat dilakukan terhadap anak yang bersangkutan atau dengan orang dewasa lain yang mengetahui tentang anak, dapat berupa percakapan bebas atau terstruktur untuk mengetahui perilaku tertentu.
3. Observasi dan rating
Konsep behavioristik mulai menekankan pada observasi langsung atas perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari, dengan asumsi bahwa apa yang terjadi sebelum dan sesudah perilaku menyimpang muncul sangat berpengaruh pada perilaku tersebut. Dalam beberapa hal, observasi dan rating atas perilaku anak dapat ditugaskan kepada orang yang dekat dengan anak, seperti orang tua, guru, dan sebagainya.
4. Tes fisik dan psikofisiologis
Penyakit dan gangguan fisik dapat mempengaruhi perilaku anak dan orang dewasa. Sehingga, perlu diadakan asesmen atas kondisi fisik anak, dengan menekankan pada pemeriksaan syaraf, otak, ataupun jantung. MC Loughlin dan Lewis (dalam Sunardi, 1981:47) mengelompokkan instrumen asesmen berdasarkan obyek yang diukur, yaitu perilaku menyimpang, perilaku murid, dan faktor lingkungan yang berpengauh pada perilaku.
Dari beberapa uraian diatas dapat diketahui pengertian asesmen ketunalarasan, yaitu pengumpulan informasi mengenai penyimpangan perilaku yang diperbuat oleh anak-anak yang menentukan sesuatu bentuk perilaku yang disandang oleh anak-anak. Selain itu, diketahui beberapa metode dalam asesmen anak tunalaras, antara lain:
1. Tes standar atau baku, meliputi tes intelegensi dan tes kepribadian.
2. Wawancara
3. Observasi dan rating
4. Tes fisik dan psikofisiologis
DAFTAR PUSTAKA
Sunardi. (1995). Ortopedagogik Anak Tunalaras I. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Riadi, Slamet. Et al. (1984). Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa. Jakarta: CV. Harapan Baru
Somantri, Sutjihati, T. (2005). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar