Selasa, 25 Oktober 2011

Teori Perkembangan Peserta Didik

Salah satu teori yang  mengagumkan dan mudah dipahami dalam pembahasan tentang psikologi perkembangan adalah teori Erik Homburger Erikson.
Erikson mengembangkan dua filosofi dasar berkenaan dengan perkembangan, yaitu:
1.     dunia bertambah besar seiring dengan diri kita
2.     kegagalan bersifat kumulatif
Kedua dasar filosofi inilah yang membentuk teorinya yang terkenal itu.Ia hendak mengatakan bahwa dunia semakin besar seiring dengan perkembangan karena kapasitas persepsi dan kognisi manusia juga mengalami perubahan. Di sisi lain, dalam pengertian Erikson, kegagalan yang terjadi pada sebuah stage perkembangan akan menghambat sebuah proses perkembangan ke stage berikutnya. Kegagalan ini tidak lantas hilang dengan sendirinya, bahkan terakumulasi dalam stage perkembangan berikutnya.
Dari penelitiannya, Erikson yang penganut Freudian (karena menggunakan konsep ego) ini melihat bahwa jalur perkembangan merupakan interaksi antara tubuh (pemrograman biologi genetika), pikiran (aspek psikologis), dan pengaruh budaya.
Erikson mengelompokkan tahapan kehidupan ke dalam 8 stage yang merentang sejak kelahiran hingga kematian.
1. Tahap Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia 18 bulan.
Hasil perkembangan ego: trust vs mistrust (percaya vs tidak percaya)
Kekuatan dasar: Dorongan dan harapan
Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa melihat bayi memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya.Sosok Ibu memainkan peranan terpenting untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada anak, dengan penekanan pada kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust (percaya) pada lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik. Sebaliknya, bila gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan akan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh frustrasi. Banyak studi tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya pembentukan keyakinan di tahun-tahun awal kehidupan ini.Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan dasar perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka bumi, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan dalam memberikan kasih sayang secara tetap.
<!--[endif]-->
2. Tahap Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18 Bulan hingga 3 tahun
Hasil perkembangan ego: autonomy vs shame (otonomi vs rasa malu)
Kekuatan dasar: Pengendalian diri, keberanian, dan kemauan (will)
Selama tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar belajar berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari perkembangan motorik yang lebih halus, termasuk latihan yang sangat dihargai: toilet training. Di masa ini, individu berkesempatan untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah.Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK.Sekalipun tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan kemauan.
Di sisi lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya berkenaan dengan kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill lainnya, yang mengakibatkan munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh, individu akan kehilangan rasa percaya dirinya.
Dalam periode ini, hubungan yang signifikan adalah dengan orang tua.

3. Tahap Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun
Hasil perkembangan ego: initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
Kekuatan dasar: Tujuan
Pada periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di sekitarnya dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain.Anak laki-laki bermain dengan kuda-kudaan dan senapan kayu, anak perempuan main “pasar-pasaran” atau boneka yang mengimitasi kehidupan keluarga, mobil-mobilan, handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran, dsb.Di masa ini, muncul sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak:”KENAPA?”
Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga sedang berjuang dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”.Kita sering melihat anak laki-laki yang bermain dengan alat kelaminnya, saling menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau bahkan menunjukkan pada anak perempuan sebaya.Kegagalan melalui fase ini menimbulkan perasaan bersalah.
Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara).
4. Tahap Usia Sekolah (School Age): Usia 6 – 12 tahun
Hasil perkembangan ego: Industry vs Inferiority (Industri vs Inferioritas)
Kekuatan dasar: Metode dan kompetensi
Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti, berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya pertumbuhan dan perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri (ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb), serta berada di dalam konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri secara normal dalam konteks sosial, ia akan merasakan ketidak mampuan dan rendah diri.
Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego ini, sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai otoritas tunggal.
5. Tahap Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun
Hasil perkembangan ego: Identity vs Role confusion (identitas vs kebingungan peran)
Kekuatan dasar: devotion and fidelity (kesetiaan dan ketergantungan)
Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan untuk saya, sejak stage perkembangan ini perkembangan tergantung pada apa yang saya kerjakan. Karena di periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum menjadi dewasa, hidup berubah sangat kompleks karena individu berusaha mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan bergulat dengan persoalan-persoalan moral.
Tugas perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang terpisah dari keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih luas. Bila stage ini tidak lancara diselesaikan, orang akan mengalami kebingungan dan kekacauan peran.
Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan.Di masa ini, seseorang bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada kenyataannya tidak demikian.Wajar bila di periode ada kesetiaan dan ketergantungan pada teman.
Pergaulan menjadi sangat crucial di usia ini, dan sangat menentukan arah masa depan perkembangan kerohanian seseorang kelak. Orang tua perlu mengontrol siapa saja teman anak-anaknya tanpa merasa rikuh, karena tugas orang tua adalah memilihka teman yang bisa membawa anak ke jalan kehidupan yang benar.
6. Tahap Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35 tahun
Hasil perkembangan ego: Solidarity vs Isolation (Solidaritas vs isolasi)
Kekuatan dasar: affiliation and love (kedekatan dan cinta)
Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta.Hubungan yang saling memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan. Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.
Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia terasa sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk pertahanan ego.
Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
Menikah adalah pilihan, namun bagi kaum muslim adalah sunnah. Pernikahan yang baik dan berdasarkan ridha Allah akan memberikan ketenteraman.
7. Tahap Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55 atau 65tahun
Hasil perkembangan ego: Generativity vs Self Absorption or Stagnation
Kekuatan dasar: production and care (produksi dan perhatian)
Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh dengan pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di seputar keluarga.Selain itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak lama.
Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya pada keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil. Kekuatan timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan sumbangan pada kebaikan masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna dan tujuan hidup yang baru.Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi.
Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.
Menjadi bagian dari komunitas adalah tuntunan bagi orang Islam, selain untuk amalan hablum minannas juga untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.
7. Tahap Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau 65tahun hingga mati
Hasil perkembangan ego: Integritas vs Despair (integritas vs keputus asaan)
Kekuatan dasar: wisdom (kebijaksanaan)
Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada kehidupan, ia akan merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang kematian sebagai kelengkapan kehidupan.
Sebaliknya, orang yang menganggap masa lalu adalah kegagalan merasakan keputus asaan, belum bisa menerima kematian karena belum menemukan makna kehidupan. Atau bisa jadi, ia merasa telah menemukan jati diri dan meyakini sekali bahwa dogma yang dianutnyalah yang paling benar.
Kematian adalah keniscayaan, dan masa lalu tidak mungkin terulang. Sebuah syair Bimbo menyebutkan, jangan takut mati karena kematian pasti datang, tapi jangan mencari mati dan menyebabkan kematian datang padamu …
source: http://mercusuarku.wordpress.com/2008/08/10/perkembangan-manusia/

Bentuk-bentuk kesalahan pada Anak Berkesulitan Belajar

 
Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau  lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.      Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.       Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3.       Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4.       Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5.      Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah. Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:
1.      Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)
2.      Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)
3.      Maladjustment/ Penyimpangan perilaku
4.      Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda
Dysleksia
Disleksia berasal dari bahasa Yunani yang artinya “kesulitan membaca”. Bryan dan Bryan seperti yang dikutip oleh Mercer (1979:200) mendefinisikan disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat, dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Menurut Lerner seperti yang dikutip oleh Mercer (1979:200) defini kesulitan belajar membaca atau disleksia sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan pada fungsi otak.
Adapun ciri-ciri anak yang mengalami dysleksia antara lain:
1.      Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2.      Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
3.      Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4.      Sulit mengeja secara benar. Bahkan mungkin anak akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan.
5.      Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b – d, u – n, m – n.
6.      Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman lainnya.
7.      Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca.
8.      Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misal, ‘hal’ menjadi ‘lah’, atau ‘kucing duduk di atas kursi’ menjadi ‘kursi duduk di atas kucing’
9.      Rancu dengan kata-kata yang singkat, misalnya ke, dari, dan, jadi.
10.  Bingung menentukan tangan mana yang dipakai untuk menulis.
11.  Lupa mencantunkan huruf besar atau mencantumkannya di tempat yang salah.
12.  Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda baca lainnya.
13.  Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14.  Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun.
15.  Menempatkan paragraf secara keliru.
Ada sepuluh tanda-tanda umum yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dini adanya kesulitan pemprosesan yang akan mempengaruhi kemampuan membaca, yaitu:
  1. Tidak dapat menyebutkan nama-nama huruf atau menyanyikan lagu abjad, terutama jika si anak memiliki kosakata yang baik.
  2. Mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang dimulai dengan bunyi yang sama dari daftar tertulis, atau tidak dapat membedakan apakah dua kata yang terdiri dari satu suku kata punya bunyi yang sama atau berbeda (misalnya “get” dan “bet” atau “sit” dan “sat”). Anak-anak yang mulai duduk di taman kanak-kanak, seharusnya dapat mengenali bunyi awal dan akhir.
  3. Kesulitan dalam menyebutkan kata yang berima atau mengenali rima
  4. Masalah dalam pengenalan fonologis, yaitu kemampuan mengidentifikasi dan mengurutkan bunyi-bunyi dalam sebuah kata (seperti, jika aku memilih kata “bat” dan aku hilangkan huruf b­-nya, jadi kata apa ya?)
  5. Tidak mengenal nama-nama warna atau bentuk
  6. Memiliki masalah wicara dan artikulasi, khususnya yang melibatkan penggunaan oromotor (kemampuan menggerak otot mulut dan mengatur sekresi seperti air ludah).
  7. Sulit mengingat urut-urutan otomatis seperti angka atau hari-hari dalam seminggu
  8. Masalah yang berkaitan dengan kegiatan motorik halus seperti menggambar lingkaran atau menyalin huruf, atau rangkaian motorik kasar seperti meloncat atau mengendarai sepeda roda tiga.
  9. Sulit mengingat kembali kata-kata khusus (misalnya, menyebutkan nama gambar benda yang sudah dikenal, kecenderungan untuk mengganti kata yang dimaksud dengan kata bermakna serupa tetapi lebih jarang digunakan, atau mengganti dengan kata-kata yang memiliki hubungan semantis, seperti “jeruk” diganti “apel”, “mobil” diganti dengan “truk”).
  10. Kesalahan pengurutan dalam wicara (“kepala” dibaca dengan “kelapa”)
Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa simtom berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):
  1. Pembalikan huruf dan kata, misalnya membalikan huruf b dengan d; p dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku, palu dengan lupa; tali dengan ilat; satu dengan utas.
  2. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)
  3. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul.
  4. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang pertama.
  5. Ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu diperlukan.
  6. Kesulitan dalam konsentrasi.
  7. Koordinasi motorik tangan-mata lemah.
  8. Kesulitan pada pengurutan.
  9. Ketaksanggupan bekerja secara tepat.
  10. Penghilangan tentang kata-kata dan frasa.
  11. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan (oral) misalnya tak mampu membedakan antara d dan p.
  12. Diskriminasi auditori lemah.
  13. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus.
  14. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi dari pada dalam membaca dan mengeja.
  15. Hyperaktivitas.
Sementara itu Guszak ( dalam M.Sodik A, 1996: 6) mengemukakan ciri-­ciri anak disleksia sebagai berikut:
  1. Membalikan huruf atau kata.
  2. Kesulitan/tak mampu mengingat kata.
  3. Kesulitan/tak mampu menyimpan informasi dalam memori
  4. Sulit berkonsentrasi.
  5. Sulit dalam melihat keterhubungan (relationship).
  6. Impulsif
  7. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata.
  8. Sulit dalam segi mengurutkan.
  9. Membaca lambat.
  10. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya.
  11. Kekacauan membaca secara oral.
  12. Hyperaktif, dan
  13. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi dari pada kinerja membaca
Secara spesifik ciri-ciri anak disleksia dalam membaca adalah sebagai berikut:
  1. Membaca dengan amat lamban dan terkesan tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan
  2. Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya.
  3. Melewatkan beberapa suku kata, kata, fase, bahkan baris-baris dalam teks yang dibaca.
  4. Menambahkan kata-kata atau frasa-frasa yang tidak ada dalam teks yang dibaca.
  5. Membolak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan huruf-huruf lain.
  6. Salah melafalkan kata-kata yang sedang ia baca walaupun kata-kata tersebut sudah akrab.
  7. Mengganti satu katu dengan kata lainnya sekalipun kata yang diganti tidak memiliki arti penting dalam teks yang  dibaca.
  8. Membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti
  9. Mengabaikan tanda-tanda baca
Secara spesifik ciri-ciri anak disleksia ketika belajar menulis (Dysgrapia) adalah sebagai berikut:
  1. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata
  2. Tidak menuliskan sejumlah huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis
  3. Menambahkan huruf-huruf pada kata-kata yang ingin ia tulis
  4. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama
  5. Menuliskan sederet huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin dia tuliskan
  6. Mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang dia baca

STUDI KOMPARASI

REPLIKASI LEMBAGA PENDIDIKAN
SEKOLAH DASAR GUGUS I KECAMATAN MOYUDAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Komparatif


 
Disusun oleh:
Nama                    :           Nur Indah Dilla M




JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
TABEL PERBANDINGAN SEKOLAH DASAR
GUGUS I KECAMATAN MOYUDAN


No
Nama SD
Rombel
Guru
Rata UN

Akreditasi
Jumlah Siswa
Jumlah Kelas
PNS
Sertifikasi
S1
1
SD N NGIJON I
(SD Inti)
133
6
9
7
5
19,48
A
2
SD N NGIJON II
(SD Imbas)
109
6
10
4
5
22,62
B
3
SD N NGIJON III
(SD Imbas)
74
6
10
6
7
21,62
B
4
SD N MALANGAN
(SD Imbas)
134
6
8
4
8
20,40
B
5
SD N SUMBERAGUNG
(SD Imbas)
81
6
11
5
9
23,21
B
6
SD MUH. NGIJON I
(SD Imbas)
312
12
17
6
12
23,55
A


ANALISIS
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembaikan adalah ngkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain itu, disebutkan pula bahwa seorang guru wajib memiliki antara lain:
a.       Memiliki kualifikasi akademik
Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program S1 atau D4.
b.      Memiliki kompetensi, antara lain:
1.      Kompetensi Pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia
3.      Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi.
4.      Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
c.       Memiliki sertifikat pendidik
Sertifikasi Pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pemerintah dan Pemda wajib menyediakan anggaran utk peningkatan kualifikasi akademik & sertfikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemda, dan masyarakat.
Hasil komparasi pada Gugus I Kecamatan Moyudan yang telah dilaksanakan pada tanggal 29 September 2011 yang terdiri dari enam Sekolah Dasar (SD) antara lain:
1.      SD N NGIJON I


Jumlah
Nilai
Guru S1
5
15
Guru Sertifikasi
7
15
Rerata NEM
19,48
10
Rombel
6
15
Akreditasi
A
20
Nilai Total
75


2.      SD N NGIJON II


Jumlah
Nilai
Guru S1
5
15
Guru Sertifikasi
4
10
Rerata NEM
22,62
10
Rombel
6
10
Akreditasi
B
10
Nilai Total
55


3.      SD N NGIJON III


Jumlah
Nilai
Guru S1
7
15 
Guru Sertifikasi
6
12
Rerata NEM
21,62
13
Rombel
6
10
Akreditasi
B
10
Nilai Total
60




4.      SD N MALANGAN


Jumlah
Nilai
Guru S1
8
20 
Guru Sertifikasi
4
8
Rerata NEM
20,40
10
Rombel
6
10
Akreditasi
B
10
Nilai Total
58


5.      SD N SUMBERAGUNG


Jumlah
Nilai
Guru S1
9
18  
Guru Sertifikasi
5
15
Rerata NEM
23,21
15
Rombel
6
10
Akreditasi
B
10
Nilai Total
68


6.      SD MUH. NGIJON I


Jumlah
Nilai
Guru S1
12
15 
Guru Sertifikasi
6
20
Rerata NEM
23,55
 20
Rombel
12
20
Akreditasi
A
20
Nilai Total
95






Dari hasil komparasi Sekolah Dasar yang termasuk dalam Gugus I Kecamatan Moyudan dapat disimpulkan:

No
Nama Sekolah
Total Nilai
Rangking
1
SD MUH. NGIJON I
95
1
2
SD N NGIJON I
75
2
3
SD N SUMBERAGUNG
68
3
4
SD N NGIJON III
60
4
5
SD N MALANGAN
58
5
6
SD NGIJON II
55
6


Berdasarkan hasil diatas dapat kita ketahui bahwa ranking SD-SD di gugus I kecamatan Moyudan sebagai berikut:
1.      SD MUH. NGIJON I
2.      SD N NGIJON I
3.      SD N SUMBERAGUNG,
4.      SD N NGIJON III
5.      SD N MALANGAN
6.      SD NGIJON II.

SD Ngijon I yang notabene SD inti kalah dengan SD Muh. Ngijon I yang merupakan SD imbas. Hal tersebut membuktikan bahwa SD inti tidak selamanya unggul.